Alangkah lucunya semua ini. Aku berkata kepada ibuku kalau
aku mengakhirinya, ibu hanya bilang “Kamu gak kenapa-kenapa?” ternyata tidak
seperti yang aku takutkan, tapi ibu tetap tidak menginginkan ini terjadi, meski
ibu tak bicara kepadaku tapi aku tahu dari sikapnya dan bagaimana ibu membela
dia. Aku tahu keluargaku kaget dengan keputusanku, ada yang bertanya “kenapa?”
tapi aku tak bisa menjawabnya, aku hanya bisa tersenyum lalu pergi.
Hari itu semua keluarga
besarku berkumpul, mereka tak bertanya kenapa aku mengakhirinya. Mereka hanya
menghiburku sambil menggodaku, “kenapa gak balik lagi aja sama dia yang udah
nungguin kamu atau kepada dia yang orang tuanya menginginkan kamu ?”. dari
semua itu aku hanya bisa tersenyum dan tertawa. Kenapa aku begitu takut untuk
mengambil keputusan itu? Padahal ada banyak laki-laki di dunia ini yang akan
mengorbankan segalanya untukku. Tak mudah bagiku untuk melupakan semuanya,
meski aku yang mengakhirinya.
Terkadang aku berpikir,
apa keputusan aku salah untuk mengakhirnya ?, tetapi ketika aku kembali
merenungkan semua itu untuk apa aku takut, apa yang aku takutkan? Aku masih
bisa hidup tanpa dia. Ketika aku bercerita kepada sahabat-sahabat, mereka
selalu bertanya, apa yang kamu takutkan ? apa yang membuatmu ragu ? apa lagi
yang kamu tunggu? Mereka benar mau seberapa lama lagi aku menunggu dia kembali
seperti dulu, mau seberapa lama lagi aku harus sabar menghadapi sikapnya.
Kini aku mengerti perkataan kakakku, “tugas seorang wanita
itu menunggu dan laki-laki yang memilih tetapi bukan berarti wanita tak bisa
untuk menolak”. Aku tahu mungkin dia bukan jodohku untuk saat ini, aku yakin
Allah telah menuliskan seorang laki-laki yang baik, yang taat kepada-Nya,
bertanggung jawab, dan menyayangiku dan keluargaku. Laki-laki yang telah Allah
tuliskan namanya dan namaku di lahul mahfuz. Aku tak tau siapa laki-laki itu,
entah itu dia laki-laki yang aku kenal atau belum aku kenal. Apa laki-laki itu
kamu, atau dia yang menungguku, atau dia yang orang tuanya menginginkanku? Aku
tak tahu tapi aku selalu yakin bahwa laki-laki itu akan datang kerumahku dan
memintaku kepada kedua orang tuaku.
Banyak hal yang selalu
aku khawatirkan meski semua hal-hal itu bukan hal-hal yang penting untuk aku
khawatirkan. Jujur aku tak pernah mempunyai keberanian buat mengambil sebuah
keputusan yang akan menyakitiku. Aku seoarang pengecut. Tapi aku memiliki
sahabat-sahabat yang selalu ada untukku. Mereka hanya melihatku menangis dan
berkata “kamu cantik, kamu pintar, banyak laki-laki yang suka padamu, banyak
laki-laki yang mengagumi kemandirianmu, banyak laki-laki yang akan berkorban
untukmu, jangan pernah takut untuk sendiri karena kamu tak pernah sendiri
karena kita aka nada disamping kamu dan akan selalu membuatmu tersenyum”.
Aku takut untuk
mengambil keputusan karena aku selalu memikirkan orang tuaku dan orang tuanya.
Aku takut mereka kecewa, hanya itu yang aku takutkan. Ibuku tidak seperti
ibuku, ibu begitu menyayangi dia, ibu menganggapnya sebagai anak nya sendiri.
Ketika aku mengadu pun bukan aku yang dibela tapi dia. Aku takut ibu kecewa
padaku, maka dari itu aku akan menahan semua rasa sakitku , menangis ketika
mereka tidur atau ketika aku sendiri. Aku hanya akan menahannya.
Aku yakin kalian tak
tahu kenapa aku mengakhirinya, apa yang kurang dari dia, dia hampir mendekati
seorang laki-laki yang kamu harapkan. Aku tahu dia baik, dia perhatian, dia
peduli padaku, dia berkorban untukku, dan dia selalu ada untukku kapanpun itu.
Tapi itu dulu sekitar dua tahun yang lalu, awal aku memilkinya, setahun aku
berjalan bersamanya. Dia berubah menjadi laki-laki yang tak aku kenal. Dia
memang menjadi lebih dekat kepada-Nya tetapi dia mulai tak peduli padaku, dia
mulai tak perhatian padaku, dia tak pernah ada disaat aku membutuhkan dia ada
disampingku. Bulan-bulan berlalu dan dia menjadi semakin asing untukku, dia
menjadi orang yang jauh denganku.
Dia mulai tak pernah
memberiku kabar, di saat aku sakit dia lebih memilih untuk mendaki gunung di
bandingkan menjengukku, dia saat aku membutuhkannya dia memilih menyibukkan
dirinya dengan urusan yang akan dia tinggalkan ketika orang lain yang
memintanya untuk datang. Disaat aku terluka dia tak bertanya padaku atau
menanyakan keadaanku. Satu bulan yang lalu, 10 hari sebelum ulang tahunnya, aku
membeli sebuah kue ulang tahun untuknya, dan menunggunya datang kerumah, dia
datang tapi karena ibuku yang memintanya datang bukan karena dia ingin
menemuiku. Dia ada tapi hanya untuk mengomentari apa yang aku lakukan itu
adalah hal yang sia-sia. Dia tak tahu aku membeli itu dengan uang hasil kerja
kerasku. Dan dia hanya bilang hal itu
adalah hal yang sia-sia. Dia juga bilang kalau karena pekerjaan ayahku itu akan
membuat ayahku menjadi musuhnya. Aku memang membenci ayahku tapi aku tak pernah
mau orang lain menjelek-jelekkannya.
Perlahan demi perlahan
aku mulai mengungkapkan apa yang ada dalam hatiku. Akhirnya dia berkata kalau
dia tak bisa menjadi penghiburku disaat aku aku terjatuh, dia tak bisa menjadi
pendengarku ketika aku bercerita dan dia tak bisa ada di sampingku di saat aku
membutuhkannya. Itu semuanya membuat aku berani mengambil keputusan kalau aku
memang harus mengakhirinya. Aku takut menyesal dan tersakiti lebih dalam tapi
aku berani untuk menghadapi rasa penyesalan itu jika memang penyesalan itu akan
datang kepadaku suatu saat nanti.
Akhirnya dia yang ku
pikir akan menjadi yang terakhir untukku ternyata aku pergi meninggalkannya.
Aku melepaskan dia. aku berhenti untuk berharap. Mungkin bukan dia yang menjadi
jodohku. Selamat tinggal ……………………… aku melepaskan mu.